Jumat, 22 Juni 2018

Kisah Sang Wanita

Hari yang berlalu tak ubahnya lembar-lembar halaman buku cerita yang biasa kita baca, dimana tiap peristiwa adalah kata yang tertulis diatasnya untuk dikisahkan.

Adalah sebuah kisah romansa picisan bodoh yang kini tertulis dalam lembar-lembar itu saat pengharapan-pengharapan  bodohku tentangmu yang terkisah darinya.

Wanita dalam kebutaan cintanya mengisi setiap detik yang dimiliki menanti pria yang tak punya rasa untuknya.

Bodoh, buta, tuli, dan bisu dijadikannya oleh rasa yang disebut cinta. Perduli setan dengan rindu yang mulai menjerat nafas dan kesepian yang mulai memasung nalar.

Adakah berujung tragis atau bahagia tak lagi menjadi masalah, toh buta itu menutupi mata hati untuk membaca arah alur kisah ini bermuara. 

Kamis, 14 April 2016

MENGAPA



Mengapa arin bisa masuk dalam kehidupan kohsei dengan mudah

Mengapa arin bisa membuat kohsei melihat dirinya dalam hitungan detik

Mengapa arin, mengapa bukan aku?

Mengapa ? Tuhan, mengapa?

24 januari 2013, hari kamis yang mendung. Sudah lebih dari dua minggu hujan menghiasi surabaya. Namaku Alma, 22  tahun dan pria yang kini di sisiku adalah Kohsei 24 tahun. Jika kalian berpikir siapakah tokoh utama cerita ini mungkin dialah orangnya. Kini kami duduk bersebelahan di ruang tunggu rumah sakit bersalin. Istrinya Arin tadi pagi mengalami kontraksi, bukan hal yang mengejutkan usia kandungannya memang sudah 9 bulan. Sepertinya anaknya akan lahir hari ini dan hari ini akan jadi penentuan keberadaanku dalam cerita ini.
Ijinkan aku bercerita sedikit tentang siapa aku, ari dan kohsei. Namaku  Alma, aku mengenal kohsei sejak kami duduk di bangku taman kanak-kanak. Jika di hitung aku dan kohsei sudah saling mengenal sejak tujuh belas tahun yang lalu. Kami secara ajaib selalu berada di satu kelas yang sama. Tak ada yang istimewa di antara kami. Hanya teman masa kecil yang tetap akrab hingga saat ini. Hanya satu hal yang mungkin membuat hubungan kami unik, sejak tujuh tahun yang lalu aku mulai melihat kohsei sebagai seorang pria dalam diamku dari belakang. Aku tau dia menyadarinya, tapi ia tak pernah membiarkan kepalanya menoleh kearahku.
Arin, wanita paling beruntung di dunia (menurut pandanganku) yang bisa membuat kohsei selalu melihat dirinya, dan karena itu aku “membencinya”. Mungkin setelah ini kalian akan melihatku sebagai tokoh antagonis dalam cerita ini. Arin masuk menjadi bagian cerita dalam kehidupanku dan kohsei sejak tiga tahun lalu.
30 desember 2009 aku dan kohsei yang punya sifat malas yang sama terutama untuk menempuh pendidikan formal memilih untuk tidak melanjutkan kuliah dan hari itu adalah hari dimana kami membuka toko kue yang kami idam-idamkan sejak zaman SMP mungkin karena kami tumbuh bersama, sekolah bersama dan tinggal saling berdekatan sejak kecil kami jadi sangat akrab hingga kami memiliki beberapa pemikiran yang sama. 
Tepat di hari itu pula Arin masuk dalam kehidupan kami. Seorang wanita sebaya denganku menjadi pelanggan pertama kami. Aku masih ingat bagaimana ia masuk ke toko sambil berlari kecil dengan menenteng payung kecilnya yang rusak karena angin kencang dan hujan deras hari itu. dengan dress berwarna coklat lembut selutut dan berlengan panjang yang basah kuyup terguyur hujan.
Spontan kuambil handuk bersih dari kamar istirahat yang bersebelahan dengan dapur dan memberikannya padanya, “mbak ini handuknya, jangan sampai kedinginan, mau pinjam baju saya? daripada masuk angin nanti” tanyaku padanya
Dengan senyum lembut yang menghiasi bibirnya saat ia berbicara, “nggak papa mbak, kalau boleh saya pesan coklat hangat satu dan lemon chese cream untuk menghangatkan badan” jawabnya
“tentu akan segera saya ambilkan”, kataku padanya. 
Tapi belum aku beranjak dari sisinya, kohsei sudah datang dengan secangkir teh kamomile dan berkata dengan lembut dan senyum yang hangat, “teh kamomile jauh lebih baik dibanding coklat hangat. Teh ini bisa mencegah masuk angin”.
Arin berterimakasih dan menyesap tehnya selagi hangat dan sejak hari itu Arin sering sekali datang ke toko. Tak sekedar membeli kue atau minum minuman hangat. Tak jarang ia juga membawakan kami kue-kue dari toko kue yang berbeda-beda. Menurutnya ini bisa membuatku lebih semangat untuk membuat kue yang jauh lebih lezat dari yang ia bawa. Tapi perlahan namun pasti makna setiap buah tangan, senyum serta segala kenangan manis yang dibawanya ke toko kami hanya untuk kohsei. Aku hanya perantara penyampai pesan dan sejak saat itu aku membencinya
22 agustus 2010 aku menunggu kohsei seharian di toko. Dua bulan terakhir dia sering sekali absen membantuku di toko. Aku tak tau mengapa dan aku juga takut untuk bertanya aku takut dugaan-dugaanku ternyata benar. Karena saat kohsei tak datang ke toko di saat itu pula Arin tak pernah datang ke toko. Namin jawaban yang tak kuharapkan itu datang begitu saja. malam itu saat perjalanan pulang dari toko aku melihat kohsei dan Arin di warung bakso di pinggiran jalan tak jauh dari komplek perumahan dimana aku dan kohsei tinggal tepat saat aku menoleh ke arah mereka saat kohsei mencium lembut bibir Arin.
Mengapa....
Mengapa arin bisa masuk dalam kehidupan kohsei dengan mudah
Mengapa arin bisa membuat kohsei melihat dirinya dalam hitungan detik
Mengapa arin, mengapa bukan aku?
Mengapa ? Tuhan, mengapa?
“Mengapa” menjadi kata tanya yang menyelimuti pikiran dan hatiku yang hancur di detik yang sama saat bibir arin menyentuh bibir kohsei. 
Hari berganti tak ada hal – hal istimewa yang terjadi waktu seakan berlari dalam senyap. Hingga tepat tanggal 1 maret 2011 aku melihat kohsei tak seperti biasanya. Sejak sebulan yang lalu ia tak pernah datang ke toko. Tak terhitung berapa kali sudah aku menghubunginya tapi tik sekalipun ia menjawab. Puluhan bahkan ratusan pesan singkat ku kirimkan tapi hanya sekali ia membalasnya maaf aku sedang ada keperluan untuk beberapa waktu kedepan aku tak bisa membantumu di toko
Aku benar-benar ingin datang menemuinya. Tapi rasa sakit yang akan kualami saat melihat Arin yang mungkin sedang bersamanya membuatku mengurungkan niatku. Namun tepat di hari itu ibu kohsei menghubungiku. Ia memintaku menemui kohsei di rumahnya. Saat itu aku yakin ada yang terjadi antara Arin dan Kohsei. 
Aku selalu takut akan rasa sakit yang datang saat aku melihat kohsei dengan Arin. Tapi kini aku lebih takut bila kohsei harus terluka karena Arin. Aku tak tau mengapa aku justru takut Arin meninggalkan kohsei dibanding berharap hal itu benar benar terjadi. Jelas aku ingin bersama kohsei, tapi jika kohsei harus terluka dulu agar hal itu terjadi maka aku akan mengubur dalam-dalam keinginanku. Tuhan aku akan lakukan apapun yang perlu kulakukan tapi kumohon jangan sakiti kohsei. Kupacu sepedahku dengan kencang ke rumah kohsei. Aku bahkan tak tau apakah aku sudah mengunci toko atau belum.
Sesampainya di rumah kohsei ibunya memintaku membujuk kohsei keluar dari kamarnya, “alma tolong bujuk kohsei keluar. Tante sangat khawatir dia sudah beberapa hari ini mengurung diri di kamar. Ia bahkan hampir tak menyentuh makanannya. Tante mohon alma bujuk kohsei untuk keluar dan makan setidaknya supaya dia tidak sakit. Dia selalu menurut saat kamu yang membujuknya”. Raut wajah penuh cemas melekatpada ibu kohsei. Aku mengangguk dan memeluk ibu kohsei sebentar sebelum menuju ke kamar kohsei
“Koko ini aku Alma, kamu mau bikin toko kita bangkrut? Aku ga bisa ngurus toko sendirian”, aku tak tau mengapa justru kalimat itu yang keluar dari bibirku dan apa yang paling ingin ku utarakan justru tertahan dan tak mampu terucap. “ko ayo...” belum sempat kusesesaikan perkataanku kohsei tiba-tiba membuka pintu dan memelukku erat sekali. Pelukannya terasa sangat menyakitkan bagiku.
“Alma untuk hari ini saja aku pingin tidur di pangkuanmu sekali saja boleh?”, ia bertanya lirih padaku.
Aku hanya diam kemudian duduk di lantai dan bersandar pada tepian ranjang yang ada di kamar kohsei. Aku kemudian memandang kohsei sambih menepuk kedua pahaku dengan kedua tanganku mengisyaratkan ia untuk tidur di pangkuanku.
Saat ia telah membaringkan kepalanya di pangkuanku ia mulai bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang hubungannya dengan Arin yang berakhir sebulan yang lalu dan segala hal yang selama ini terjadi. Rasa trauma arin pada masa lalunya membuat arin terus saja menaruh curiga atas cinta kohsei meski ia tau kohsei tulus mencintainya. Kohsei bercerita tentang keinginannya meminang Arin yang justru berujung pada permintaan putus yang dilayangkan Arin tanpa ragu padanya. Air mata kohsei menetes saat ia bercerita tentang betapa ia mencintai arin. Ia menangis dalam pangkuanku sembari memeluk erat pinggangku.
Beberapa jam kemudian setelah ia mulai tenang aku memintanya beranjak dari pangkuanku. Aku memintanya untuk makan sesuatu dan berhenti membuat ibunya cemas. Ia mengangguk ringan namun tepat saat ku berdiri di ambang pintu hendak luar dari kamarnya tiba-tiba ia memanggilku
“Alma, maaf kumohon maafkan aku, aku tau apa yang kau rasakan terhadapku. Tapi tetap saja aku bersandar padamu saat hubunganku dengan Arin tak berjalan mulus. Maaf karena aku tak pernah melihat kearahmu”, seusai kudengar perkataannya tak ada yang mampu kulakukan selain berlalu.
Arin, aku harus bertemu dengan Arin. Aku ingat aku masih menyimpan nomer telfon genggamnya. Kuhubungi dia dan kuminta dia datang ke toko. Aku berusaha meyakinkannya untuk mau ke toko dan memastikan bahwa kohsei tak ada di sana hingga ia akhirnya bersedia datang. Kuceritakan semua yang ingin kukatakan padanya setelah ia tiba di toko. Betapa aku membencinya dan berharap kohsei meninggalkannya. Betapa aku berharap di hari pertama kami bertemu aku tak membiarkannya masuk dalam tokoku dan betapa aku berharap Tuhan mencabut nyawanya karena ia bisa memiliki kohsei sedangkan aku yang mencintainya sejak dulu tak pernah dilihat oleh kohsei. Aku tak tau bagaimana sumpah serapah itu keluar dari mulutku tapi kemudian aku justru menceritakan padanya betapa kohsei mencintainya dan mengharapnya kembali.
Aku tak tau dan tak pernah mau tau apa yang terjadi kemudian hingga akhirnya 11 juli 2012 mereka menikah. Berita itu sampai di telingaku sebulan sebelumnya dan sejak saat itu aku berdoa pada Tuhan siang dan malam, cabutlah nyawa Arin, jangan biarkan ia menikah dengan kekasihku, cabulah nyawa arin agar hatiku tak teriris sembilu cabutlah nyawa arin dan berikan dia sebagai sesembahan pangan bagi perut bumi.
Tapi sayang doaku tak terkabul hingga kini. Dan sekarang di sinilah aku, duduk menunggu istri dari orang yang paling kucintai melahirkan buah hati mereka. Dan doaku masih tetap sama ‘Tuhan, cabutlah nyawa Arin, jangan biarkan ia hidup lebih lama dengan kekasihku, cabulah nyawa arin agar hatiku tak teriris sembilu cabutlah nyawa arin dan berikan dia sebagai sesembahan pangan bagi perut bumi. Akan kurawat anaknya sepenuh hati tapi bawalah ibunya tak perduli kau kirim ke surga atau kau campak kan di neraka’.
Inilah aku dan kisah kecilku. Aku bisa memahami tiap jiwa yang mengutukku kemudian atas piciknya pikirku, tapi cinta hanya akan menyeretmu ke satu titik dimana kau harus memilih menjadi protagonis penuh keikhlasan dan kebaikan atau antagonis sekalian, dan dari yang sudah tertulis kalian akan melihat jalan mana yang aku pilih. 
Karena ini adalah kesempatan terakhirku. Jika ia tak mati jua saat melahirkan maka aku tak akan bisa lagi melihat diriku bersanding dengan kohsei.



(*untuk temanku Merrie (bukan nama asli)terimakasih atas kisahmu. Tak tau mana yang benar atau mana yang salah. Taktau apakah kau benar tokoh antagonis atau protagonis. Tak tau apakah doa mu yang mengharapkan kematian orang lain itu benar atau salah. Tapi aku mendoakan untuk kebahagiaanmu.)

Kamis, 19 November 2015

Gadis Penjual Apel dan Pangeran Berjubah Hitam


Suatu hari di sebuah kerajaan kecil yang damai tinggalah seorang gadis berusia 15 tahun di sebuah gubuk tua di pinggir wilayah kekuasaan kerajaan tersersebut. Gadis yang hidup dari berjualan apel mengelilingi kerajaan kecil itu setiap hari. Tak banyak yang ia dapat dari berjualan apel setiap harinya, tapi setidaknya itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Bermodal keranjang tangan penuh apel ranum yang menggoda lidah tiap orang yang melihatnya untuk mencicipi ia menyusuri setiap jalan yang dilihatnya. Mengetuk lembut tiap pintu rumah langganannya menawarkan apel pada mereka. Rambut merah keritingnya yang panjang terurai dan senyum manisnya membuat ia mudah dikenali dan itu pulalah yang membuat orang-orang memanggilnya Red. Hampir seluruh penduduk yang hidup di kerajaan itu mengenalnya atau setidaknya tau siapa dia.
Di saat yang bersamaan dalam istana hiduplah seorang pangeran muda yang pendiam yang selalu mengenakan jubah lembut berwarna hitam buatan ibunya kemanapun ia pergi. Ia pandai bermain alat musik. Setiap hari ia memenuhi seisi istana dengan denting lembut piano yang dimainkannya. Ia adalah putra kedua dari sang raja. Orang orang mengenalnya sebagai pemuda yang sangat lembut dan bijak sana Zahari namanya. Dia memang tak banyak bicara tapi dia bisa berubah menjadi seseorang yang sangat humoris secara tiba-tiba dan mencairkan suasana tegang dalam istana. Kemampuannya membawa diri membuat semua orang memujanya sebagai calon raja selanjutnya sekalipun mereka tau bahwa yang akan menjadi raja selanjutnya adalah kakaknya pangeran Hans.
Red dan Zahari adalah dua sosok yang memiliki kehidupan yang cukup bertolah belakang. Mulai dari sisi ekonomi sampai dengan lingkungan sosial yang di hadapi tiap harinya. Tapi keduanya berteman cukup akrab. Tak banyak yang tau hal ini. Hanya seorang pengawal bernama Berto yang mengetahuinya. Suatu hari ketika Zahari menyamar bersama berto untuk berkeliling kerajaan mereka berpapasan dengan Red. Mereka beberapa kali mendengar cerita tentang red. Terutama saat mereka berada di salah satu restoran kecil di dekat pasar. Banyak orang yang membicarakan Red. Bukan hal yang luar biasa. Mereka hanya bercerita tentang kualitas apel yang dijual oleh Red. Hampir semua orang tau Red mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam memilih apel berkualitas terbaik.
Rasa penasaran membuat Berto bertanya tentang Red pasa sang pelayan restoran. “dia adalah gadis penjual apel tuan. Ia pandai memilih apel-apel dengan kualitas yang baik dan rasa yang manis untuk diantar ke pelanggannya. Itulah mengapa semua orang senang membeli apel darinya selain itu ia merupakan gadis yang baik dan ramah. Ia tak enggan membantu para pedagang tua untuk membawakan barangnya. Yha ia memang gadis yang baik hanya saja ia kadang juga bisa jadi sangat cerewet”.
Tak lama setelah mereka keluar dari restoran datang seorang gadis berrambut merah yang menawarkan apel pada mereka. Nada suaranya memang agak tinggi. Tapi ia menawarkan apel jualannya sembari tersenyum ramah. Sang paneran langsung bisa menebak siapa yang ada di hadapan mereka. Pertemuan itu menjadi awal mereka menjadi teman akrab. Sesekali sang pangeran datang ke kota membeli beberapa apel dari Red. Setelah beberapa kali bertemu red menawarkan untuk mengantar apel ke rumah sang pangeran dua kali satu minggu.
Awalnya red terkejut saat pertama kali mengetahui bahwa pemuda yang membeli apelnya tinggal di istana. Ia baru tahu kemudian hari saat ia datang ke istana sesuai janjinya bahwa pria itu adalah pangeran Zahari.
Pertemuan demi pertemuan terjadi, rutinitas yang awalnya sekedar mengantar apel kemudia berkembang menjadi pertemuan panjang dengan jutaan kisah yang diceritakan oleh Zahari ataupun Red.  Zahari kemudian mengenal Red sebagai seorang gadis yang merindukan keluarganya. Sudah 4 tahun kini sejak Red hidup sendiri karena kedua orang tuanya tenggelam saat berlayar ke kerajaan tetangga untuk mengunjungi keluarga mereka. Sedangkan Red mengenal Zahari sebagai seorang pemuda yang memiliki keinginan besar melihat dunia lebih dekat, dan Red juga melihat Zahari sebagai seorang pemuda yang siap memulai hidupnya dari titik nol karena baginya untuk dapat berdiri sendiri diluar bayangan ayahnya adalah impian besar yang pantas untuk dikejar.
Red selalu senang mendengar Zahari berbicara Red juga selalu senang melihat bagaimana Zahari melihatnya sebagai sesama manusia sekalipun kesenjangan sosial dan ekonomi mereka terlihat jelas dan perlahan Red mulai menaruh hati pada Zahari di kemudian hari. Kebijaksanaan dan kedewasaan Zahari membuat Red merasa nyaman berada di sisi Zahari. Bagaimana Zahari ingin berjuang Dari nol untuk memulai hidupnya membuat Red berani berharap di kemudian hari bahwa ia bisa bersama Zahari.
Namun tiba-tiba Red mendengar dari Berto bahwa Zahari sedang jatuh hati pada seorang putri dari kerajaan tetangga. Seorang putri cantik, anggun dan pintar. Semua sisi dari sang putri hanya menampilkan kesempurnaan. Red terluka pada awalnya. Ia merenung dan berjalan menyusuri desa hari itu hingga akhirnya berhenti di depan etalase sebuah toko malam itu. dari kaca jendela kemudia ia melihat bayangannya,”siapa aku? Rambut merahku, gaun kumuh dan sederhana yang menempel di tubuhku, keranjang apel tua dan mantel tua yang belubang menghias tubuhku tubuh tambun yang begitu menjijikkan. Beraninya aku berharap pada sang pangeran”. Red kemudian mengenakan tudung mantelnya dan berlari pulang.
Sejak saat itu ia mulai menjaga jarak dari Zahari. Mereka bahkan tak pernah bertemu lagi. Red memang masih sesekali berusaha menemui Zahari sebagai seorang teman. Namun Zahari sedang sibuk dengan kekasihnya dan rencananya meninggalkan istana. Awalnya Red terkejut namun kemudian ia hanya sesekali datang mengantarkan apel dan menyapa sang pangeran kemudia pergi. Karena ia taut keberadaannya akan mengganggu.
Tiga tahun berselang sejak terakhir kali Red bertemu dengan Zahari. Kini mereka sama-sama dewasa. Namun tiba-tiba kerajaan memberika berita bahagia perkawinan pangeran mereka. Red yakin itu pasti berita pernikahan Zahari dan putri Melfira. Namun Red benar-benar terkejut saat ia melihat dan membaca pengumuman bahwa putri Melfira akan menikah dengan pangeran Hans. Saat ia berbalik setelah membaca pengumuman itu samar-samar ia seakan melihat bayangan mantel Zahari berlalu diantara kerumunan. Red hanya diam dia yakin itu pasti Zahari tapi ia tak bergerak dari tempatnya berdiri sekalipun hatinya sangat ingin mengejar Zahari dan memeluknya sembari bertanya apa yang terjadi. Tapi sayangnya hanya airmatanya yang berlari turun rari wajahnya.
Setelah keramaian pernikahan di kerajaan berlangsung Red bertemu dengan Berto tanpa sengaja. Berto bercerita tentang apa yang terjadi sekalipun Red tak bertanya apapun. “apakah kau masih menyimpan perasaan untuk Zahari?” adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Berto kemudian. Red tak mampu menjawabnya.
Berto kemudian bercerita bahwa setahun yang lalu Zahari berhasil menakhlukkan sebuah wilayang kecil di utara kerajaan yang dulunya memberontak pada kerajaan. Zahari menaklukkan daerah itu dengan tangannya sendiri atas kemampuannya. Karena itu kemudian Zahari diberi kesempatan untuk membangun kerajaannya sendiri dimulai dari wilayah yang ia taklukkan dengan syarat ia tak boleh menyatakan perang pada kerajaan kakaknya. Namun sayangnya keberhasilan kecinya harus dibayar mahal. Putri Melfira merasa tak sanggup untuk berada di sisi Zahari karena Zahari terlalu sibuk dengan Kerajaan kecilnya yang ia pimpin. Entah bagaimana kemudian Hans yang menikahi Melfira pada akhirnya.
Zahari tampak terluka namun ia menerima dengan lapang dada. Namun sejak saat itu Zahari lebih sering mengunci diri dalam istananya dan menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijak sana dari dalam istananya. Berto memberikan peta menuju ke istana Zahari pada Red. Dan meminta Red untuk menggapai orang yang disayanginya itu.
Dengan jutaan rasa perih yang menyelimutinya atas duka yang menenggelamkan Zahari dari mentari di luar istananya. Red datang ke istana Zahari hari itu juga dengan kereta kuda saudagar tua yang dikenalnya. Namun yang dihadapi Red hanya sebuah gerbang tinggi nan tebal yang mengelilingi istana. tak ada orang yang bisa keluar masuk semaunya di istana itu kecuali dengan izin sang pangeran. Red tau ia tak akan mampu membukanya sendiri ataupun memanjatnya. 
Red kemudian datang ke istana setiap harinya mulai saat itu. Ta hanya menunggu dan berharap suatu hari Zahari mau membuka Gerbang istana dan membiarkannya masuk sebagai seorang wanita. Red yakin Zahari tau tentang perasaannya, bahkan orang seperti Berto yang tak pandai menilai orang lain sekalipun tau bagaimana perasaan Red pada Zahari. Sesekali dititipkannya pada sang pengawal sepucuk surat dan sebutir apel untuk Zahari. Pernah satu kali pesannya dibalas oleh Zahari dengan dingin tapi itu cukup untuk menyakinkan Red tetap menunggu Zahari.

Beberapa waktu kemudian berlalu, Red menghilang dan tak pernah lagi tampak menjajakkan apel mengelilingi kerajaan. tak pernah ada yang tau kemana ia menghilang. Hingga saat ini belum ada kepastian apakah Red akhirnya bisa masuk ke dalam istana Zahari atau tidak. Namun satu hal yang pasti Red terus menunggu Zahari dengan setia di balik gerbang tinggi  istana sekalipun dinginnya salju menusuk tulang ataupun panasnya mentari membakar tubuh. Tapi tak ada yang tau apakah Red menghilang karena ia berhasil masuk ataukah ia menghilang karena kekuatannya untuk menunggu terkikis oleh waktu. Hanya Zahari yang kini menjadi satu-satunya orang yang tau bagaimana akhir kisah ini, karena hanya Zahari yang bisa menentukan akhir cerita ini apakah akan indah bagi Red dan Zahari atau hanya berujung pada penantian tak terbatas oleh Red atau bahkan ketabahan Red yang harus dipaksa menyerah oleh waktu.


                                                 

Kamis, 29 Oktober 2015

Jangan Lupakan Aku

          Aku tau betul bahwa hari seperti ini akan tiba jua pada akhirnya. Hari dimana bersetubuh denganmu terasa begitu nikmat tapi menyakitakan. Hari dimana menyesap aroma tubuhmu dalam tiap tarikan npasku menjadi proses sakral dan ketika aroma tubuh itu memenuhiku ingin ku kunci dan tak kulepaskan lagi agar tetap dapat kurasakan dan menjadi bagian dari ragaku. Andai aku bisa mengajukan satu permohonan keajaiban pada Tuhan, aku ingin memintaNya membunuh cahaya mentari yang akan terbit esok hari. Karena mentari tanpa cahayanya tak kan mampu mendatangkan pagi dan hari tak akan berganti.

          Detik, menit, dan jam berlalu dalam sekejap, pagi datang dalam satu kedipan mata. Sekalipun tak kubiarkan mataku terjebak dalam kantuk dan terus terjaga menghitung waktu. Tetal saja pagidatang begitu cepat. Elrik tertidur dengan begitu pulasnya sambil memeluk tubuh telanjangku di balik selimut putih ini. Rasanya begitu nyaman dan hangat ketika keberadaannya menyelimutiku. Tapi begitu perih dan menyesakkan di saat bersamaan. Hela nafasnya yang hangat, irama degup jantungnya yang lembut sesaat lagi akan lenyap.

          Elrik mulai terbangun dan melepaskan pelukannya sembari bertanya apakah aku sudah terbangun lama atau aku memang tak menutup mataku sepanjang malam. Yha tentu aku menjawab dengan jujur. Tapi sayang ia tak bergeming. Ia bangun dan melangkan dengan mantap memungut seluruh pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia memakainya dalam waktu yang cukup singkat dan duduk di tepi ranjang untuk memasang kaus kaki dan sepatunya.

          Aku memeluknya dengan tubuh telanjangku dari belakang. Kusandarkan kepalaku tepat dibahunya. "Haruskah kau pergi sepagi ini? Takbisakah kau di bersamaku sedikit labih lama?" Aku merengek padanya.

           Bukankah akan lebih mudah untuk segera mengakhiri semuanya. Aku sudah katakan padamu ini yang terakhir. Aku hanya ingin membuat pertemuan ini lebih singkat setiknya mungkin akan lebih mudah bagiku melepasmu seperti itu".

          "Hemm baiklah. Tapi di pertemuan terakhir ini bolehkah aku meminta satu permohonan. Hanya satu. Tidak lebih dan setelahnya aku akan melepasmu seakan kita tak pernah mengenal satu sama lain. Apakah Aneke akan pulang pagi ini dari Jepang?"

          "Tidak, dia baru akan pulang lusa".

          "Berarti kau punya waktu cukup luang kan hari ini? Lagipula hari ini hari minggu"

          "Yha begitulah".

        "Apa kau ingat tiga bulan yang lalu saat aku memintamu mengantarkanku menemani Erika sepupuku memilih gaun pengantinnya? Saat itu tiba-tiba kau menyuruhku mencoba salah satunya dan aku mencobanya. Tepat ketika matamu melihatku dalam balutan gaun itu kau langsung mengatakan bahwa aku tampak begitu cantik. Apa kau tau bahwa selama tujuh tahun kita berhubungan, itu adalah pujian paling spontan yang pertama dan terakhir kalinya hingga saat ini".

     "Benarkah? Aku bahkan tak menyadarinya. Perkataanmu barusan membuatku merasa aku memperlakukanmu dengan buruk selama ini".

          "Tidak, jangan aku sangat bahagia selama tujuh tahun ini jadi.... baiklah aku ingin memintamu memeluk dan menciumku untuk terakhir kalinya saat aku mengenakan gaun itu. Apakau keberatan ? Aku membelinya minggu lalu tampa alasan yang jelas. Tapi kemudian mungkin kalau aku bisa memintamu hal ini dan kau tak akan keberata. Satu kenangan manis terakhir aku ingin merasakan sekali saja berdiri di sisimu dengan gaun itu."

          "Baiklah, yha setidaknya untuk yang terakhir."

         Tak butuh waktu yang lama bagiku untuk memakai gaun itu dan merapikan riasan wajah dan rambutku, dan tiba-tiba ia memelukku dari belakang, "maaf seandainya saja aku bisa merubah apa yang terjadi di antara kita, seandainya saat itu aku tak bertemu denganmu". Suaranya mantap ketika berbicara sekalipun tubuhnya bergetar memelukku. Dan aku mengecup bibirnya dengaan sangat lembut. Seandainya detik detik ini bisa berhenti atau setidaknya bergerak lebih lambat ....

        "Elrik, kumohon jangan sesali apapun. Penyesalanmu menyakitiku. Aku tau aku bukan wanita baik baik karena aku berhubungan dengan suami dari wanita lain selama tujuh tahun lebih tapi bisa mencintaimu menjadi hal yang paling aku syukuri."

         "Alma.......", begitu lembut suaranya menyebut namaku dalam hembusan nafasnya saat mencumbuku.

        "Elrik kumohon jangan sesali apapun. Semua begitu indah bagiku saat besamamu selama tujuh tahun ini, kumohon sisakan sedikit saja ruang di hatimu untuk mengenangku. Elrik, hal yang paling menyakitkan bagi seseorang bukan lah kehilangan. Tapi dilupakan. Aku tahu akan sangat menyakitkan mungkin, bahkan keberadaanku adalah hal terburuk bagimu. Tapi ku mohon tetap ingatlah aku sekalipun kau tak ingin menyapaku bila kita bertemu."

         Tak satu kata pun kemudian terlontar dari bibirnya. Ia hanya mengecupku sekali lagi dan berlalu dibalik pintu kamar ini yang bergerak menutup, dan disinilah kisah ini berakhir. Antara aku dan dia


Jumat, 25 September 2015

Karena Aku Mencintainya

Aku mencintainya. Itu sederhana sekali. Semua yang aku lakukan karena aku mencintainya. Hanya itu. Hanya untuk bersamanya satu atau dua detik jika harganya adalah nyawa, bagiku itu bukan hal yang sulit.

                                        ***

21 januari 1998, hari itu mentari menodongkan sinarnya mencekik setiap tenggorokan orang- orang yang berada di luar ruangan. Keringat mengguyur tiap helai serat pakaian yang menempel di tubuhku. Tak perlu waktu lama bagiku hingga akhirnya aku menemukan tempat tujuanku. Kafe kecil milik Alana yang berdiri dengan elegan di daerah kemang memang tak terlalu mencolok tapi tetap menarik perhatian mereka yang lewat di hadapannya untuk sekedar mampir dan melepas jerat terik mentari dari tekak.

Begitu kumasuki ruangan yang dingin dengan suara halus deru pendingin ruangan itu, wajahnya begitu mudah aku temukan. Warna silfer dari rambut Alana yang mencolok membuatnya menarik perhatianku seketika. Alana adalah gadis tionghoa kelahiran 23 juni dua puluh tujuh tahun yang lalu. Kerusakan pigmen warna rambut yang dialaminya sejak sekolah dasar membuatnya kehilangan warna hitam rambutnya sejak usia belia.

Gerutu darinya menyambut kedatangnku begitu ia melihatku memasuki kafe kecil ini. Tampaknya ia menunggu cukup lama. Wajah cemberutnya tak mampu menyembunyikan kecantikan wanita lembut ini. Aku heran mengapa diusianya sekarang ia belum juga menikah, padahal ia hampir memiliki seluruh kriteria wanita idaman.

Aku Armanto Sujatmiko. Pribumi asli kelahiran 20 Maret tiga puluh tahun yang lalu. Aku bekerja sebagai pegawai negeri. Tidak, aku bukan seorang pejabat pemerintah atau sejenisnya. Aku hanya seorang guru sekolah dasar. Terkadang aku sering berpikir bagaimana Tuhan dengan segala kemurahan kasihnya memberiku kesempatan untuk mengenal seseorang seperti Alana. Tak banyak keturunan tionghoa dari keluarga berada sepertinya yang bersedia menerima orang sepertiku beada di sisinya. Yha dia kekasihku. Sudah sekitar satu tahun terakhir aku memadu kasih dengannya.

Aku mengenal Alana sejak sekolah dasar. Ibuku adalah salah seorang pembantu yang dipekerjakan di rumah keluarga Alana. Dulu hanya sekedar salam sapa yang berani ku utarakan saat bertemu dengannya itupun hanya sekedar basa basi sopan santun.

Meski aku sering bertanya-tanya mengapa ia belum juga menikah, tapi aku bersyukur karenanya. Karena aku kini bisa benar- benar di sisinya. Bukan sekedar mengintipnya dari balik tirai dapur tempat ibuku memasak untuk keluarganya.


Tak mudah memang berada di sisinya. Omongan keluarganya tentang kami serta ketakutan yang dialami ibu karena tak ingin dicemooh oleh tetangga atas hubunganku dengan Alana yang berbeda etnis dan agama menjadi beberapa kerikil yang menyayat hati kami dari awal hubunganku hingga kini. Tapi semua berjalan begitu saja. Kurasa semua yang kami hadapi memang membuat kami lebih tegar.

Butuh waktu lama hingga akhirnya segala kekesalannya selesai ia utarakan melalui gerutu manisnya. Hemmm aku hanya bisa tersenyum menunggunya mereda siang itu kemudian menjelaskan apa yang terjadi hingga aku terlambat.

Tapi penjelasanku tampaknya tak membuat wajahnya cerah. Aku membaca kekhawatirannya siang itu. Kutanyakan apa yang terjadi dan ia mulai bercerita. Keadaan politik di Indonesia kini memang mulai memburuk, dan kini keberadaan kaum minoritas sepertinya semakin tertekan. Bulan depan seluruh keluarganya akan pindah ke singapura.

Tak pernah ada satu orangpun yang ingin berpisah dari orang yang dicintai. Tapi aku sadar benar keadaan saat ini memang tak aman untuknya tetap berada di indonesia. Tanpa berfikir panjang aku menyuruhnya ikut dengan keluarganya ke Singapura.

Air mata berlinang membasuh wajah beningnya yang lembut. Aku bisa memahami kepedihan dan ke khawatirannya. Dengan lembut kuyakinkan ia untuk ikut dengan keluarganya ke Singapura dengan segala pertimbangan dan argumen tepat yang dapat ia terima. Denga lembut direngkuhnya tangaku ke pipinya yang basah itu dan ia berkata "jika tiap detik denganmu harus dibayar dengan satu tahun sisa hidupku. Aku tak akan mengeluh".

                                  ***

Dan kini waktu pembayaran itu benar- benar datang. Sudah berhari- hari kami kini bersembunyi di dapur belakang kafe. Beberapa bulan telah berlalu sejak keluarga Alana pindah ke Singapura. Argumen apapun tak bisa membuat aku meyakinkan Alana untuk ikut dengan keluarganya. Dan kini tinggallah aku dengannya berdua di sini bersembunyi.

Rasanya seperti kembali ke jaman penjajahan. Bedanya kini kaum pribumi yang memburu kaum minoritas. Perekononian indonesia yang hancur memicu pergolakan mengerikan. Para kaum Tionghoa yang di nilai sebagai penguasa pasar dan yang memonopoli perekonomian menjadi sasaran amarah. Darah mereka seakan tidak lebih berharga dibanding air kencing yang dibuang setiap harinya.

Kafe ini juga tak luput dari penjarahan. Penganiayaan atas nama reformasi menjadi belati yang menyayat jantung kami tiap detiknya dan menjebak kami berada dalam ketakutan yang semakin dalam. Untungnya aku dan Alana masih bisa bersembunyi di dapur belakang.

Tapi suara langkah serta dentuman itu hari ini seakan menemukan jalannya untuk menuju buruannya. Aku dekap erat Alana di dalam pelukanku dan kukatakan padanya kalau saja ia ikut keluarganya ia tak akan terjebak dalam bahaya seperti ini. Tapi justru dalam keadaan seperti ini ia mengecupku lembut dalam genang air mata. Diulaskannya senyum tulus dalam cekam ketakutan yang meronta. "Aku tak menyesali apapun. Tidak setiap detik, kata, kenangan yang kita lewati". Itu menjadi kalimat terakhir yang aku dengar hingga akhirnya mereka menemukan kami. Kini hanya denging pekak telinga dari lolongan derita yang tersisa.

Orang-orang itu melampiaskan semua pada Alana. Aku ditarik mindur karena mereka tau aku pribumi. Ia di ikat di kursi di hadapanku. Ditelanjangi dan dimandikan cairan bensin menyengat. Aku meronta memekik meminta dilepaskan. Hingga seorang pria di sisiku berbisik."diamlah atau kau mau dibakar bersama wanita cina sialan itu".

Ku berlutut terdiam. Lalu apa? Apa yang bisa kulakukan setelah ia tiada. Jika seluruh keberadaannya lenyap. Maka jiwaku akan lenyap bersamanya. Tepat ketika mereka mulai merenggangkan cengkraman tangan mereka dariku. Aku seketika melepaskan diri dan memeluk erat Alana. Masih kudengar degup jantungnya tapi safas seakan tak tersisa. Kulepas ikatannya dan kurengkuh tubuh telanjangnya yang dingin. Aku tetap bersamamu sampai akhir.

Aku mencintainya. Itu sederhana sekali. Semua yang aku lakukan karena aku mencintainya. Hanya itu. Hanya untuk bersamanya satu atau dua detik jika haganya adalah nyawa, bagiku itu bukan hal yang sulit.

Aroma bensin menyapa dan menyelimuti aku dan Alana. Mereka membakar habis kafe ini bersama kami didalamnya. Tak apa. Kematian hanya harga yang cukup bisa kubayar untuk tiap detikku dengannya.

Andai mata benar- benar menjadi jendela hati. Tidakkah gadisku telah menunjukkan betapa ia tak punya dosa. Bukan salahnya dilahirkan sebagai tionghoa. Bukan salahnya ia mencintai pribumi. Bukan salahnya ia dilahirkan dalam keluarga kaya. Kami hanya sedikit diantara mereka yang meregang nyawa, jiwa, serta harapan atas luapa amarah masa. Kami hanya dua orang yang mencinta di tempat dan waktu yang lasah. Namun kami tak akan menyesali apapun.

Tanya atas Air Mata

Ketika saya mati, akankah ada yang menangisi?
Pertanyaan ini terus bermain di fikiran saya pribadi selama lebih dari 3 tahun terakhir. Terutama sejak saya merasa bahwa saya diperlakukan berbeda oleh anggota keluarga saya. Tentunya ini hanya pandangan subjektif saya. Saya berfikir, seandainya tiba-tiba akhir usia saya tiba akankah mereka menangisi saya?

Saya tak pernah yakin bahwa keberadaan saya diterima oleh keluarga saya. Jujur saya bukan orang dengan kemmpuan komunikasi yang baik. Sikap tempramen yang jarang bisa terkontrol juga menkadikan saya merasa semakin terisolir oleh dunia di sekitar saya.

Hampir setiap orang berharap keberadaannya akan tetap di kenang oleh semua orang terdekatnya. Tapi tidak dengan saya. Saya hanya berani berharap setidaknya mereka mau menyisihkan sedikit dari airmata yang mereka miliki untuk saya. Baik itu untuk rasa duka maupun rasa bahagia karena tak lagi perlu bertemu dwngan orang seperti saya.

Terkadang saat malam datang, saya merasa seakan saya bisa melihat penghalang yang menjebak saya bagai acar timun dalam stoples kaca. Semua begitu nyata jelas dan dekat. Tapi tetap tak tergapai. Tidak. Tidak, sungguh saya tak minta dikenang selamanya ketika usia saya datang pada penghujungnya. Saya hanya berharap ada satu atau dua tetes air mata yang menyatakan bahwa "Yhaaa saya pernah terlihat diantara mereka" terlepas dari bagaimana mereka memandan saya. Setidaknya saya tau saya pernah terlihat.